BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suku
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian Utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan
Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari
Agama Hindu Dharma. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang
berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang
dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal
di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh
dunia luar. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi
budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata
yang terus meningkat.[1]
B.
Rumusan Makalah
1. Asal-Usul Dan Perkembangan Kepercayaan Aluk To Dolo
2. Pokok-Pokok Ajaran Aluk To Dolo
3. Upacara Keagamaan Masyarak Toraja
4. Interaksi Kepercayaan Orang Toraja Dengan
Agama-Agama Lain.
C.
Tujuan makalah
Agar mahasiswa mengetahui ajaran suku dan asal-usul
Aluk To Dolo dari suku toraja.
BAB II
PEMBAHASAAN
1.
Asal
Usul Dan Perkembangan Kepercayaan Aluk To Dolo
A. Letak Geografis
Kabupaten Tana Toraja
adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan Makale
sebagai Ibukota Kabupaten, yang mempunyai luas wilayah 3.205,77 kilometer
persegi dan berpenduduk sebanyak lebih kurang 400.000 jiwa. Sebelah barat
berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah utara berbatasan dengan Propinsi
Sulawesi Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah
selatan dengan Laut Flores.[2]
Kabupaten Tana Toraja
merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi Sulawesi Selatan
yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang Selatan dan 119º30´ sampai
120º10´ Bujur Timur. "Ibukota" Tator yakni kota kecil Rantepao adalah
kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar di Sulsel yakni
sungai Sa'dan, sungai inilah yang memberikan tenaga pembangkit listrik untuk
menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio linguistik, bahasa Toraja disebut
bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain seperti Adriani dan Kruyt
menyebutnya sebagai bahasa Sa'dan.
Bahasa ini terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Tallulembangna
(Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek Mappapana (Toraja Barat).
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah
:
- Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten
Mamuju, Kabupaten Mamasa
- Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
- Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan
Kabupaten Pinrang
- Sebelah Barat : Kabupaten Polmas.
Luas wilayah Kabupaten
Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi
Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah penduduk pada tahun
2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan
199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan
laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun. Menurut sejarah,
penduduk yang pertama-tama menduduki/mendiami daerah Toraja pada zaman purba
adalah penduduk yang bergerak dari arah Selatan dengan perahu. Mereka datang
dalam bentuk kelompok yang dinamai Arroan (kelompok manusia). Setiap Arroan
dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe' Arroan (Ambe' = bapak, Arroan
= kelompok). Setelah itu datang penguasa
baru yang dikenal dalam sejarah Toraja dengan nama Puang Lembang yang artinya
pemilik perahu, karena mereka datang dengan mempergunakan perahu menyusuri
sungai-sungai besar. Pada waktu perahu mereka sudah tidak dapat diteruskan
karena derasnya air sungai dan bebatuan, maka mereka membongkar perahunya untuk
dijadikan tempat tinggal sementara. Tempat mereka menambatkan perahunya dan
membuat rumah pertama kali dinamai Bamba Puang artinya pangkalan pusat pemilik
perahu sampai sekarang. Hingga kini kita
akan melihat disekitar Ranteapo terdapat beberapa Bamba Puang milik keluarga
keluarga paling berpengaruh dan terkaya disitu yang mendirikan Tongkonan (rumah
adat Tator) beserta belasan lumbung padinya. Setiap Tongkonan satu keluarga
besar dihiasi oleh puluhan tanduk kerbau yg dipakai untuk menjelaskan status
sosial dalam strata masyarakat adat. Tongkonan itulah yang menjadi atraksi
budaya dan menjadi obyek foto ratusan turis yang mendatangi Toraja.[3]
B. Mitologi dan Asal-Usul Toraja
Sebelum kata Toraja,
digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang
sekarang dinamakan Tana Toraja, Arti kata Toraja, itu sendiri ada beberapa
pendapat sebagai berikut:
A.Adriani mengartikan To Raja adalah
orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis
Sidenreng. Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja (bahasa Bugis Luwu) karena
Tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu. Pendapat lain yang mengatakan
bahwa Toraja, itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama
laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki Padada
adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi
kemudian tiba dikerajaan Gowa.[4]
Toraja aslinya
mempunyai nama tua yang dikatakan dalam literatur kuna mereka sebagai
"Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo" , yang berarti negeri
dengan pemerintahan dan masyarakat berketuhanan yang bersatu utuh bulat seperti
bulatnya matahari dan bulan. Agama asli nenek moyang mereka adalah Aluk Todolo
yang berasal dari sumber Negeri Marinding Banua Puan yang dikenal dengan
sebutan Aluk Pitung Sa'bu Pitung Pulo. Ketika Belanda masuk, agama Aluk Todolo
tergeser oleh missionaris Kristen yang menyebarkan agama diwilayah ini. Namun
adat istiadat yang berakar pada konsep Aluk Todolo hingga kini masih
dijalankan. Kita masih akan menikmati pertunjukan upacara kematian masyarakat
Toraja sebagai pengaruh kuat dari agama
nenek moyang mereka.[5]
Catatan: Peta Geografis Tana Toraja.
Suku Toraja mendiami
daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan
gaya hidup Austronesia dan mirip dengan budaya Nias.
Toraja
pasca kemerdekaan Republik Indonesia, didirikan pada tahun 1960, adalah salah
satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, dengan ibu kota Makale dan
merupakan salah satu daerah tujuam wisata yang sangat menarik dengan alamnya
yang indah, budayanya yang khas dan mempesona serta wilayahnya yang
berliku-liku dengan dikelilingi pegunungan .ada 7 gunung di Tana Toraja,
seperti gunung Bebo’, Sado’ko’, Kandora, Buntu Batu, Messila, dan Sangbu,
sehingga Tanah Toraja terasa dingin dan sejuk.Kondisi yang menarik wisata
mancanegara, khusunya dari Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, Negara Eropa
lainnya serta wisatawan nusantara.[6]
Catatan:
Pintu masuk menuju daerah suku Toraja.
Orang Toraja, ialah
penduduk sulawesi tengah, untuk sebagian juga mendiami Provinsi Sulawesi Selatan,
ialah wilayah dari kabupaten-kabupaten tanah Toaraja dan mamasa. Mereka itu
biasanya juga disebutorang toraja sa’ dan berjulah kira-kira ½ juta orang.[7] Kepercayaan Aluk To Dolo adalah kepercaayaan asli orang Tanah
Toraja yang terletak kurang lebih 300 km, disebelah Utara Ujung Pandang,
Sulawesi Selatan. Secara harfiah, Aluk
artinya kepercayaan, To artinya orang,
Dolo artinya dulu, jadi Aluk To Dolo
artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan nenek moyang.
Karena ajaran itu hanya bersifat turun menurun, dan tidak banyak berupa ajaran tertulis, maka peraktek pribadatanya
banyak terdapat perbedaan antara satu suku dan suku daerah lainya pada tiap tiap desa
(kaparengsan) praktek pribadatan dipimpin oleh seorang yang bernama To Parenggo Sokkong Baju.[8]
Persekutuan dari
beberapa kampung diangkat seorang
pemimpin yang mempunyai hak otonom keluar daerah dan ke dalam daerah . sampai
saat negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, belum terdapat suatu
organisasi yang mengkoordinir secara resmi kegiatan-kegiatan penganut Aluk To Dolo.
Tetapi setelah tahun
1955 terbentuklah suatu organisasi atau perkumpulan pada penganut Aluk To Dolo
yang bernama pamadangan ada. Organisasi ini bertujuan :
a. Agar
Alukta diakuai sebagai agama resmi di Indonesia yang berdasarkan pancasila.
b. Agar
para penganut alukta diberi kesempatan untuk duduk di pemerintahan.
2. Pokok-Pokok Ajaran Aluk To Dolo
Dalam Ajarannya Aluk
Todolo mengatakan bahwa Agama ini duturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta)
kepada nenek moyang manusia yang pertama bernama Datu’ La Ukku’ yang dinamakan
Sukaran Aluk (Sukaran= susunan/aturan, Aluk= Agama/Aturan) artinya aturan dan
susunan agama atau keyakinan yang didalamnya mengandung ketentuan–ketentuan
bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah, memuja, dan memuliakan
Puang Matua yang diwujudkan dalam bentuk sajian penyembahan.
a. Konsep Ketuhanaan
Tidak
berbeda dengan konsep animisme lainnya, Aluk To Dolo mempercayai adanya
kekuatan gaib pada alam, ia berada dimana-mana, seperti dipinggir langit,
ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan batu, didalam matahari, di
hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang sudah meninggal. Bumi dan
langit keduanya bersatu, sehingga tidak ada sesuatu yang lain pun kecuali Tuhan
yang mengakibatkan dunia gelap gulita. Setelah berpisahnya bumi dan langit,
maka timbulah gelap dan terang, dari padanya pula lahirlah Tuhan-Tuhan yang
bernama:
1. Poang Tulak Padang,
bertempat di pusat tanah untuk bersemayam didalamnya. Jika manusia melakukan
pelanggaran-pelanggaran kaedah moral ajarannya, maka Tuhan inilah yang akan
menarik tumbuh-tumbuhan dan tanaman. Oleh karena itu diperlukan
persembahan-persembahan apabila akan mulai bercocok tanam.
2.
Poang
Enggai Rante, pergi ke lembah dunia luas dan kawin
dengan Tallo Mangkakalena (telur yang terjadi dengan sendirinya). Dari perkawinan
ini melahirkan Putera-putera Tuhan.
3. Gaun Tikembang,
ia kembali ke tempat ayahnya di Langit, ia bersemayam seorang diri. Ia berusaha
mencari jodoh sesama Tuhan kesana kemari, tetapi juga tidak bertemu. Didalam kekesalan
dan kesepiannya, dicabutlah salah satu tulang rusuknya untuk dijadikan
sesamanya. Tuhan yang terbuat dari tulang rusuk Gaun Tikembon ini dinamai Puang
Usuk Sangbamban, dengan gelar raja laki-laki.[9]
3. Upacara Keagamaan Aluk To Dolo
Sesuai dengan sistem
kepercayaan dan konsep ketuhanan yang dianut oleh para penganut Alukta, maka
praktek penyembahan kepada para dewa disesuaikan dengan tindakan dan permohonan
penyembahannya. Penyembahan itu dilakukan untuk memohon ampun dan tanda syukur
terhadap nikmat yang diterimanaya, misalnya karena turunyya hujan, menguningnya
padi dan berkembangnya ternak pemeliharaan. Penyembahan kepada para dewa
dilakukan pula karena menerima musibah, seperti sakit dan rusaknya
tanam-tanaman atau karena memulai sesuatu pekerjaan, seperti mulai bertanam
padi, menebang pohon, mulai mendirikan rumah dan sebagainya.
Ritual
Upacara Adat Rambu Solo dan Rambu Tuka
Dalam masyarakat
Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya
mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak
menggelar pesta pemakaman yang besar.
Rambu
Solo
Rambu Solo adalah upacara
pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga dari almarhum membuat sebuah
upacara sebagai tandapenghormatan terakhir pada mendiang yang telah meninggal
dunia.
Catatan: Tempat
peristirahatan terakhir suku Toraja, mayat akan diletakkan di Goa Batu.
Catatan: kegiatan awal
Upacara Rambu Solo.
Rambu
Tuka
Rambu Tuka Upacara Adat
Rambu Tuka’ adalah acara yang berhubungan dengan acara syukuran misalnya acara
pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat atau tongkonan baru, atau
selesai direnovasi. Rambu Tuka menghadirkan semua rumpun keluarga.[10]
Catatan: Tarian untuk
penyambutan pengantin dalam Upacara Rambu Tuka.
Catatan:
sebelum diasapi/dibakar, babi terlebih dahulu didekap guna kegiatan Rambu Tuka.
Suku Toraja percaya
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan
sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Penyembahan pun ada
tingkatan-tingkatannya:
·
Ma’Babo bo’bo yaitu upacara penyembahan
yang dilakukan seseorang yang dianggap tidak mampu. Dengan menyajikan sedikit
nasi yang diambil dari tempat nasi dan ditempatkan didaun pisang kemudian
diletakkan di sudut rumah.
·
Ma’Piong sanglampa yaitu setingkat
dibawah ma’babo bo’bo. Satu Piong Lembang ditambah anak ayam yang paling kecil.
·
Ma’Likarang biag yaitu tiga piong lemang
dan seekor ayam jantan kecil.
·
Ma’tadoran yaitu selamatan yang
dilengkapi dengan memotong babi dan ayam.
·
Ma’tete’auo yaitu pada tingkat ini
upacara dilakukan dengan memotong babi lebih dari satu.
·
Ma’palang yaitu sajian dan cara upacara
lebih meningkat lagi.
·
Manganta’ yaitu upacara dilakukan jika
suatu kampong terkena penyakit menular, seperti penyakit cacar.
·
Merek yaitu pemotongan babi dilakukan
tanpa terbatas.
·
Ma’bua yaitu suasana upacara lebih
meriah lagi karena dilaksanakan oleh orang yang paling kaya dan dihadiri oleh
orang sekampung.
·
La’pa Kassalle yaitu sama nilainya
dengan Ma’bua.[11]
Tak ada aturan tertulis
mengenai Aluk Todolo, kepercayaan kepada leluhur warga Dusun Kanan di Tana
Toraja, Sulawesi Selatan. Kepercayaan mereka diturunkan secara lisan,
turun-temurun, dan mengikat kehidupan sehari-hari. Namun, warga mematuhi aturan
itu dan rela menjalani hukuman jika ketahuan melanggar Penganut Aluk Todolo
wajib menyembah dan memuliakan leluhurnya yang diwujudkan dalam berbagai bentuk
dan sikap hidup serta ungkapan ritual.[12]
Karena mayoritas
penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %)
maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini
terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan
Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih
dilakukan dan cukup terkenal. Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat
ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan
disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat
kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari jumlah babi dan kerbau yang
dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu sampai
sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan. Belum lagi biaya (lainnya)
yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat
telah berubah menjadi masalah martabat. Dalam struktur keagamaan nenek moyang
dalam ajaran Aluk To Dolo di Tana Toraja mempunyai cirri dan penerapannya
berbeda-beda sesuai dengan adat daerah masing-masing. Walaupun maksud dan
tujuannya sama. Struktur keagamaan di Talolembang, Tana Toraja, adalah:
1. Puang
(Raja).
2. Toparenge’
adalah penanggung jawab adat dan agama.
3. Tobara’
adalah pembantu Toparenge’ dalam membina adat. Dalam tiap desa biasanya ada
atau empat tobara’.
4. Tomenani
dan Tominna (Rohaniawan/pendeta/ustad), mereka ini mempunyai tugas memberikan
petunjuk kepada pengikutnya. Tomina ini mengetahui ajaran Aluk To Dolo dan
mereka kuat ingatnnya karena peraturan agama tidak ada yang ditulis. Tomina
mempunyai bahasa yang sulit dipahami oleh orang biasa. Penghidupan Tomina
sangat sederhana.
5. Toburake
merupakan banci yang mendapatkan ilham, yang dapat menyembuhkan penyakit dan
bertindak sbagai dukun serta memelihara gadis-gadis yang dipingit dalam
ma’bua’ka sale (upacara tertinggi dalam rumpun tertinggi).
6. Pe
toeatu’: yaitu orang yang berhak melaksanakan ritual keagamaan Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Petugasnya Rambu
Solo’ disebut toma’ kayo atau toma’ balun, orang ini yang bertugas
membungkus dan memandikan mayat. Namun pada saat ini mayat dimandikan oleh
keluarganya. Sedangkan petugas Rambu
Tuka’ disebut Tominna/Tominani
atau Toburake.[13]
Catatan: Proses pemotongan Kerbau untuk
perbekalan selama upacara Rambu Solo berlangsung.
Catatan: selain kerbau, babi juga
digunakan untuk proses kelangsungan upacara Rambu Solo.
Upacara kematian (Rambu Solo’) merupakan salah satu bentuk
ritual yang digelar keluarga Aluk To Dolo untuk menghormati arwah orang sudah
meninggal. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupu biaya pemakaman.[14] Ritual
Rambu Solo’ digelar semeriah mungkin agar arwah orang meninggal tersebut ke Puya (dunia arwah/akhirat) tidak
terhambat.Mereka mempercayai bahwa jiwa orang yang meninggal bisa mengendarai
jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan.Makanya hewan yang terbaik sebagai
kendaraan menuju ke Puya adalah Kerbau Tedong Bonga yang dianggap kuat untuk
melintasi gunung dan lembah Puya. Ada beberapa tingkatan dalam upacara Rambu Solo’, yaitu:
·
Disisli
adalah upacara kematian/pemakaman paling sederhana. Orang miskin dari tingkatan
budak sering dikuburkan dengan hanya membekali mayat dengan telur ayam tanpa
upacara keagamaan.
·
Dipasang
Bongi adalah upacara kematian yang dilakukan hanya satu
malam di rumah dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara
ini bagi orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu
ekonominya.
·
Dipatallung
Bongi adalah upacara penguburan yang berlangsung selama
tiga malam di rumah. Empat ekor kerbau dan babi sepuluh ekor.
·
Dipalimang
Bongi, upacara pemakaman selama lima hari lima malam.
·
Dipapitung
Bongi, upacara tujuh hari tujuh malam. Setiap hari dan
setiap malam ada acara pemotongan kerbau dan babi, keluarga terdekat pantang
makan nasi selama acara berlangsung. Banyak babi dipotong, kerbau sebanyak 9
sampai 20 ekor.
·
Dirapai,
upacara
pemakaman orang meninggal yang paling mahal karena dua kali diupacarakan
sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah Tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun kemudian upacara
ke dua diadakan. Upacara ke dua, orang meninggal dipikul ratusan orang dari tongkonan atau rante tempat upacara ke dua. Upacara ini disebut ma’palo/
ma’pasonglo’. Orang meninggal dibungkus kain merah dilapis emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan
yang dihiasi emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang siap
diadu satu lawan satu. Dirapai terbagi tiga (3) rapasan dilayu-layu, dengan
target terendah dua belas ekor kerbau. Kemudian rapasan sundun, dengan target
minimum 24 ekor kerbau yang dipotong, rapasan sapurandanan dengan jumlah
terendah 30 ekor kerbau yang dipotong.[15]
Catatan: Prosesi upacara Rambu Solo yang
mengadakan tarian.
Rambu Solo’ pun merupakan acara tradisi yang sangat meriah di
Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya.Upacara ini
biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan
biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat
disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing.
Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya
mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua
batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu
yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.[16]
Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan.
Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing
di ketinggian bukit batu. Menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan
masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di
kalangan Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka
semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana. Kepercayaan pada Aluk To Dolo pada
hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu pandangan terhadap kosmos dan
kesetian pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam
kehidupan bermasyarakat.Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti
hal “mengurus dan merawat” arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.[17]
Seni Bangunan, ukir, dan Ornamen/hiasan suku Toraja Seperti
halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena
bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas.
Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat
suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
Catatan: Rumah adat yang penghuninya
sering mengadakan upacara, terdapat banyak tanduk kerbau digantungkan.
Pada mulanya rumah yang
didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama lantang Tolumio. Ini
masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing. Bentuk kedua
dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya
yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang
berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin
disebabkan adanya gangguan binatang buas. Perkembangan ketiga ialah ditandai
dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa
pohon hidup dan 1 tiang buatan. Berikutnya adalah rumah panggung yang
seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk
menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung. Perkembangan
ke~5 masih berupa rumah panggung sederhana tetapi dengan tiang yang lain untuk
keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu.tiang-tiang dibuat
sedemikian rupa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam
posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal.
Lama sesudah itu terjadi perubahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah
meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali
dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu
dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari
atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang
penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi, Berikutnya adalah
rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon. Perkembangan ini terdapat pada
Lantai yang mengalami perubahan sesuai fungsinya Pada periode ini hanya terjadi
perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan. Pada periode
ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai. Berikutnya
adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua. Setelah
periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih
banyakkarena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam
penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap,
paku, dan sebagainya.[18]
Jadi dapat disimpulkan
bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat
Toraja.
a.
Seni Bangunan Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah
tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan
sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting
dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan
leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di
surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[19]
b.
Seni Ukir suku Toraja
Pembangunan tongkonan
adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga
besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan
tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas
kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa
yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.Bahasa Toraja hanya
diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[20]
Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu
dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran
kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran memiliki nama khusus.
Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan. Contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel
persegi. Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian
besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang
masih diipertahankan. Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja,
misalnya: Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada
tiap-tiap sudut rumah adat. Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam
ornamen, masing-masing ialah:
a.
Ornamen binatang Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam
upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk ornamen.
Misalnya tanduk, kepala (tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam
ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau (tiruan dari kayu) biasanya
dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere). Tanduk kerbau
disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlahgenerasi
yang pernah tinggal di rumah adat itu. Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’
Bulaan (kasatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga
dipintu-pintu.Babi, sebagai lambang binatang sajian.
b.
Ornamen Senjata.Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana Bulaan
(kasatria). Ornamen Tumbuh-tumbuhan. Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang
utama tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu,
juga di pintu-pintu.
c.
Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU. Ornamen lukisan diukir dulu baru
dipasang di tempat. Penyelesaian Lukiran biasanya dengan zat pewarna yang
dibikin dari tanah + tuak atau arang + cuka + air.[21]
Seni
Tari
Kesenian Tari di Tana Toraja,
senantiasa diapresiasikan berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu
Solo’, yang antara lain:
• Tarian Ma’gellu : dipentaskan pada upacara
kegembiraan
• Tarian Boneballa’ / Ondo Samalele’: digelar
dalam upacara syukuran
• Tarian Pa’gellu: dipentaskan pada acara
pesta Rabu Tuka
• Tarian Burake: pemujaan kepada Puang Marua
dan Deata
• Tarian Dau Bulan: Sama dengan Tarian Burake
• Tarian
Madandan: pemujaan dan doa-doa kepada Puang Ma’tua dan Deata (Aluk Todolo)
• Tarian Manimbong: Tarian pemujaan dan doa
pada upacara syukuran
• Tarian Pa’randing: untuk menghormati para
pahlawan perang
• Tarian Pa’pangngan: tarian selamat datang.[22]
Ritual Rambu Solo
memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Biasanya,
Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti
mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang
batu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat
sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih
utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh
jenazah dengan yang baru. Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih
hidup dan tetap menjadi bagian keluarga besar. Dibungkusnya tulang-belulang itu
dengan baju yang dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah
itu, Pong Rumasek melanjutkan perburuannya. Semenjak kejadian itu, setiap kali
Pong Rumasek berburu, ia selalu memperoleh hasil yang besar. Binatang hutan
seakan digiring ke dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek
mendapati tanaman padi disawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen
sebelum waktunya. Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya
berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang
ditemukannya saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu
memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’. Dalam
ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat warga. Misalnya,
jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal
mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’ Nene’ untuknya. Ketika Ma’
Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke seantero negeri
akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya.Warga Baruppu percaya, jika Ma’
Nene’ tidak digelar maka leluhur juga akan luput menjaga mereka. Musibah akan
melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan
padi yang bernas dan tanaman yang subur.
Alat
Upacara Keagamaan
Pote – tanda berkabung untuk pria dan
wanita.
Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala.
Pokti – tempat sesajen.
Sepui – tempat sirih.[23]
4.
Interaksi
Sosial Orang Tanah Toraja Terhadap Agama Lain dan Dalam Lingkungan Masyarakat Lokal
Misionaris Belanda yang
baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur
perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan
ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan
para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak
merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi
Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen. Aluk Todolo merupakan agama leluhur orang Toraja yang kemudian banyak
berasimilasi dengan ajaran Kristen yang dianut sebagian besar orang Toraja.
Aluk Todolo tidak mengenal sistem keagamaan seperti dalam Hindu, Aluk Todolo
tidak mengenal candi atau pura dan dewa-dewa seperti dalam mitologi Hindu.
Ajaran ini tetap lestari dari lisan dan diwariskan secara turun temurun. Saya
belum menemukan informasi kalau Aluk Todolo memiliki sebuah kitab suci seperti
layaknya agama besar di dunia. Ada yang berpendapat jika ajaran ini banyak
mengadopsi ajaran Hinduisme dan Konghucu. Untuk Hinduisme sudah terjawab bahwa
ajaran ini tidak mengadopsi ajaran para resi dari Jawa. Belum ada informasi
yang menyebutkan Agama Hindu pernah masuk ke tanah Sulawesi.[24]
Lalu dari mana unsur
Konghucu masuk kedalam tradisi Aluk Todolo ?? agak susah menjawabnya, mungkin
ada kaitan dengan asal muasal orang Toraja yang dalam sejarah migrasi Asia
Tenggara dikelompokkan kedalam kelompok Melayu Tua, ada yang menyebut leluhur
orang Toraja berasal dari Tiongkok negerinya Konghucu. Namun saya tidak mau
berspekulasi dengan menyebut Aluk Todolo tidak dipengaruhi ajaran Konghucu,
karena pertama masih belum jelas mana duluan antara migrasi atau ajaran
Konghucu ??? kedua saya bukan ahli sejarah atau antropologi. Jadi hubungan Aluk
Todolo dengan Konghucu masih kabur, namun yang pasti Aluk Todolo merupakan satu
dari puluhan aliran kepercayaan yang tetap eksis di bumi nusantara.[25]
Penduduk Muslim di
dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang
Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan
terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951
dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15
tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak
diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk
membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah
satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari
Agama Hindu Dharma.[26]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Orang Toraja, ialah
penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga mendiami Provinsi Sulawesi Selatan,
Kepercayaan Aluk To Dolo adalah kepercaayaan asli orang Tana Toraja yang
terletak kurang lebih 300 km, disebelah Utara Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
Secara harfiah, Aluk artinya kepercayaan, To artinya orang, Dolo artinya dulu,
jadi Aluk To Dolo artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan
nenek moyang.
Aluk To Dolo
mempercayai adanya kekuatan gaib pada alam, ia berada dimana-mana, seperti
dipinggir langit, ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan batu,
didalam matahari, di hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang sudah
meninggal.
Dengan demikian dapat
dikatakan masyarakat Toraja tetap berpegang teguh terhadap pengaruh keyakinan
terdahulunya, adanya agama lain hanyalah sebagai formalitas agar masyarakat
Tana Toraja dapat diakui keadaannya oleh Neagara, karena menurut ketentuan
dekret Presiden hanyalah agama-agama besar yang sah secara hukum.
Daftar
Pustaka
Koenjtaraningrat. Dr, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jambatan, cet. 4 1979)
Darol
Afia. Neng Dra. (ED), Tradisi dan
kepercayaan lokal pada beberapa suku di Indonesia (Jakarat: badan litbang agama DEPAG RI, 1999)
Dinas
Kebudayaan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, Adat
dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Makassar : 14 Juli 2006)
Hidayah. Zulyani
Dr. Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2015)
Rosadi.
Achmad, Perkembangan Paham Keagamaan
Lokal Di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011)
Tresna Nurhayati
Manurung. Rotua, Upacara Kematian di Tana
Toraja. (Medan: Dalam Kertas Karya Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara, 2009)
http://blaketupruk.blogspot.com/2010/01/makalah-tentang-toraja.html diakses pada tanggal 15 Maret 2016
http://www.torajaparadise.com/2015/02/kajian-antropologis-suku-toraja-sebuah.html,
diakses diakses pada tanggal 15 Maret 2016
http:/"Tana Toraja official website"
(dalam Indonesia). Diakses tanggal. 15 Maret 2016.
http://solata-sejarahbudaya.blogspot.co.id/2015/12/kebudayaan-toraja.html#sthash.oBPw3O72.dpuf.
Diakses pada 15 maret 2016.
http://201252074.blogspot.co.id/2013/04/letak-geografis-dan-sejarah-tanah-toraja.html. diakses pada 14 maret 2016.
http://www.torajaparadise.com/2015/02/kajian-antropologis-suku-toraja-sebuah.html. diakses pada 13 maret 2016.
http://aluktodolo.blogspot.co.id/. Diakses pada 15 maret 2016.
http://akhmadsalman.blogspot.co.id/2011/03/sifat-manusia-berdasarkan-letak.html. diakses pada 15 maret 2016.
http://karangtarunawirasantika.blogspot.com/2012/06/makalah-suku-toraja-fai-unwir-2012.html. diakses pada 16 maret 2016.
http://suka2kitadonk.blogspot.co.id/2013/04/ditoraja-ada-2-upacara-adat-yang-sangat.html. diakses pada 16 maret 2016.
[1] http://blaketupruk.blogspot.com/2010/01/makalah-tentang-toraja.html. diakses pada 13 maret 2016.
[2] http://solata-sejarahbudaya.blogspot.co.id/2015/12/kebudayaan-toraja.html#sthash.oBPw3O72.dpuf. Diakses pada 15 maret 2016.
[3]
http://201252074.blogspot.co.id/2013/04/letak-geografis-dan-sejarah-tanah-toraja.html. diakses pada 14 maret 2016.
[4] http://www.torajaparadise.com/2015/02/kajian-antropologis-suku-toraja-sebuah.html. diakses pada 13 maret 2016.
[5] http://201252074.blogspot.co.id/2013/04/letak-geografis-dan-sejarah-tanah-toraja.html. diakses pada 14 maret 2016.
[6] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di
Indonesia. (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.186-187.
[7] Dr. Koenjtaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jambatan: cet. 4. 1979), h. 259.
[8] Dra. Neng Darol Afia (ED), Tradisi dan kepercayaan lokal pada beberapa
suku di Indonesia (badan litbang
agama DEPAG RI, 1999), h.117-118.
[9] Dra. Neng Darol Afia (ED), h. 118-119.
[10]
http://suka2kitadonk.blogspot.co.id/2013/04/ditoraja-ada-2-upacara-adat-yang-sangat.html. diakses pada 16 maret 2016.
[11]
Dra. Neng Darol Afia (ED), h.121-122.
[13] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di
Indonesia. (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) h.198-199.
[14] Dr. Zulyani Hidayah. Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2015) h.406.
[16]
http://akhmadsalman.blogspot.co.id/2011/03/sifat-manusia-berdasarkan-letak.html.
diakses pada 15 maret 2016.
[17]
Rotua Tresna Nurhayati Manurung. Upacara
Kematian di Tana Toraja. (Medan: Dalam Kertas Karya Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, 2009). h.48.
[18]
http://karangtarunawirasantika.blogspot.com/2012/06/makalah-suku-toraja-fai-unwir-2012.html.
diakses pada 16 maret 2016.
[19] http://solata-sejarahbudaya.blogspot.co.id/2015/12/kebudayaan-toraja.html#sthash.oBPw3O72.dpuf. Diakses pada 14 maret 2016.
[21]
http://karangtarunawirasantika.blogspot.com/2012/06/makalah-suku-toraja-fai-unwir-2012.html.
diakses pada 16 maret 2016.
[22] http://solata-sejarahbudaya.blogspot.co.id/2015/12/kebudayaan-toraja.html#sthash.oBPw3O72.dpuf. Diakses pada 14 maret 2016.
[23] http://solata-sejarahbudaya.blogspot.co.id/2015/12/kebudayaan-toraja.html#sthash.oBPw3O72.dpuf. Diakses pada 16 maret 2016.
[24]
http://akhmadsalman.blogspot.co.id/2011/03/sifat-manusia-berdasarkan-letak.html.
diakses pada 14 maret 2016.
[26]
http://www.torajaparadise.com/2015/02/kajian-antropologis-suku-toraja-sebuah.html,. diakses pada 15 maret 2016.