Kamis, 12 Mei 2016



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian Utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.[1]
B.     Rumusan Makalah
1.      Asal-Usul Dan Perkembangan Kepercayaan Aluk To Dolo
2.      Pokok-Pokok Ajaran Aluk To Dolo
3.      Upacara Keagamaan Masyarak Toraja
4.      Interaksi Kepercayaan Orang Toraja Dengan Agama-Agama Lain.
C.    Tujuan makalah
Agar mahasiswa mengetahui ajaran suku dan asal-usul Aluk To Dolo dari suku toraja.

 BAB II
PEMBAHASAAN

1.      Asal Usul Dan Perkembangan Kepercayaan Aluk To Dolo
A. Letak Geografis
Kabupaten Tana Toraja adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan Makale sebagai Ibukota Kabupaten, yang mempunyai luas wilayah 3.205,77 kilometer persegi dan berpenduduk sebanyak lebih kurang 400.000 jiwa. Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah selatan dengan Laut Flores.[2]
Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang Selatan dan 119º30´ sampai 120º10´ Bujur Timur. "Ibukota" Tator yakni kota kecil Rantepao adalah kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar di Sulsel yakni sungai Sa'dan, sungai inilah yang memberikan tenaga pembangkit listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio linguistik, bahasa Toraja disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain seperti Adriani dan Kruyt menyebutnya sebagai bahasa  Sa'dan. Bahasa ini terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Tallulembangna (Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek Mappapana (Toraja Barat).
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah :
 - Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa
 - Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
 - Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
 - Sebelah Barat : Kabupaten Polmas.
Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun. Menurut sejarah, penduduk yang pertama-tama menduduki/mendiami daerah Toraja pada zaman purba adalah penduduk yang bergerak dari arah Selatan dengan perahu. Mereka datang dalam bentuk kelompok yang dinamai Arroan (kelompok manusia). Setiap Arroan dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe' Arroan (Ambe' = bapak, Arroan = kelompok).  Setelah itu datang penguasa baru yang dikenal dalam sejarah Toraja dengan nama Puang Lembang yang artinya pemilik perahu, karena mereka datang dengan mempergunakan perahu menyusuri sungai-sungai besar. Pada waktu perahu mereka sudah tidak dapat diteruskan karena derasnya air sungai dan bebatuan, maka mereka membongkar perahunya untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Tempat mereka menambatkan perahunya dan membuat rumah pertama kali dinamai Bamba Puang artinya pangkalan pusat pemilik perahu sampai sekarang.  Hingga kini kita akan melihat disekitar Ranteapo terdapat beberapa Bamba Puang milik keluarga keluarga paling berpengaruh dan terkaya disitu yang mendirikan Tongkonan (rumah adat Tator) beserta belasan lumbung padinya. Setiap Tongkonan satu keluarga besar dihiasi oleh puluhan tanduk kerbau yg dipakai untuk menjelaskan status sosial dalam strata masyarakat adat. Tongkonan itulah yang menjadi atraksi budaya dan menjadi obyek foto ratusan turis yang mendatangi Toraja.[3]
B. Mitologi dan Asal-Usul Toraja
Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja, Arti kata Toraja, itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:
A.Adriani mengartikan To Raja adalah orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis Sidenreng. Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja (bahasa Bugis Luwu) karena Tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja, itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki Padada adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan Gowa.[4]
Toraja aslinya mempunyai nama tua yang dikatakan dalam literatur kuna mereka sebagai "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo" , yang berarti negeri dengan pemerintahan dan masyarakat berketuhanan yang bersatu utuh bulat seperti bulatnya matahari dan bulan. Agama asli nenek moyang mereka adalah Aluk Todolo yang berasal dari sumber Negeri Marinding Banua Puan yang dikenal dengan sebutan Aluk Pitung Sa'bu Pitung Pulo. Ketika Belanda masuk, agama Aluk Todolo tergeser oleh missionaris Kristen yang menyebarkan agama diwilayah ini. Namun adat istiadat yang berakar pada konsep Aluk Todolo hingga kini masih dijalankan. Kita masih akan menikmati pertunjukan upacara kematian masyarakat Toraja  sebagai pengaruh kuat dari agama nenek moyang mereka.[5]
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi36ZfBoHRbFWe2pY6LjBSNkCtiPXVhtEF8Ypm-B44paak5DSF5B3Nc_Bj2t0UiLGXK9k8VgKSY3R-3DrHVpVuxGl8Fd4hKtEFKEZ8wtmX1antCAbshT7gAMGI9fd2Wwik3jlKH5lFMh54/s320/peta.jpg 
Catatan: Peta Geografis Tana Toraja.
Suku Toraja mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia dan mirip dengan budaya Nias.
Toraja pasca kemerdekaan Republik Indonesia, didirikan pada tahun 1960, adalah salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, dengan ibu kota Makale dan merupakan salah satu daerah tujuam wisata yang sangat menarik dengan alamnya yang indah, budayanya yang khas dan mempesona serta wilayahnya yang berliku-liku dengan dikelilingi pegunungan .ada 7 gunung di Tana Toraja, seperti gunung Bebo’, Sado’ko’, Kandora, Buntu Batu, Messila, dan Sangbu, sehingga Tanah Toraja terasa dingin dan sejuk.Kondisi yang menarik wisata mancanegara, khusunya dari Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, Negara Eropa lainnya serta wisatawan nusantara.[6]
Catatan: Pintu masuk menuju daerah suku Toraja.
Orang Toraja, ialah penduduk sulawesi tengah, untuk sebagian juga mendiami Provinsi Sulawesi Selatan, ialah wilayah dari kabupaten-kabupaten tanah Toaraja dan mamasa. Mereka itu biasanya juga disebutorang toraja sa’ dan berjulah kira-kira ½ juta orang.[7] Kepercayaan  Aluk To Dolo adalah kepercaayaan asli orang Tanah Toraja yang terletak kurang lebih 300 km, disebelah Utara Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Secara harfiah, Aluk artinya kepercayaan, To artinya orang, Dolo artinya dulu, jadi Aluk To Dolo artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan nenek moyang. Karena ajaran itu hanya bersifat turun menurun, dan tidak banyak berupa  ajaran tertulis, maka peraktek pribadatanya banyak terdapat perbedaan antara satu suku dan suku  daerah lainya pada tiap tiap desa (kaparengsan) praktek pribadatan dipimpin oleh seorang yang bernama To Parenggo Sokkong Baju.[8]
Persekutuan dari beberapa kampung  diangkat seorang pemimpin yang mempunyai hak otonom keluar daerah dan ke dalam daerah . sampai saat negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, belum terdapat suatu organisasi yang mengkoordinir secara resmi kegiatan-kegiatan penganut Aluk To Dolo.
Tetapi setelah tahun 1955 terbentuklah suatu organisasi atau perkumpulan pada penganut Aluk To Dolo yang bernama pamadangan ada. Organisasi ini bertujuan :
a.       Agar Alukta diakuai sebagai agama resmi di Indonesia yang berdasarkan pancasila.
b.      Agar para penganut alukta diberi kesempatan untuk duduk di pemerintahan.
2.      Pokok-Pokok Ajaran Aluk To Dolo
Dalam Ajarannya Aluk Todolo mengatakan bahwa Agama ini duturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta) kepada nenek moyang manusia yang pertama bernama Datu’ La Ukku’ yang dinamakan Sukaran Aluk (Sukaran= susunan/aturan, Aluk= Agama/Aturan) artinya aturan dan susunan agama atau keyakinan yang didalamnya mengandung ketentuan–ketentuan bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua yang diwujudkan dalam bentuk sajian penyembahan.

a.  Konsep Ketuhanaan
Tidak berbeda dengan konsep animisme lainnya, Aluk To Dolo mempercayai adanya kekuatan gaib pada alam, ia berada dimana-mana, seperti dipinggir langit, ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan batu, didalam matahari, di hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang sudah meninggal. Bumi dan langit keduanya bersatu, sehingga tidak ada sesuatu yang lain pun kecuali Tuhan yang mengakibatkan dunia gelap gulita. Setelah berpisahnya bumi dan langit, maka timbulah gelap dan terang, dari padanya pula lahirlah Tuhan-Tuhan yang bernama:
1.      Poang Tulak Padang, bertempat di pusat tanah untuk bersemayam didalamnya. Jika manusia melakukan pelanggaran-pelanggaran kaedah moral ajarannya, maka Tuhan inilah yang akan menarik tumbuh-tumbuhan dan tanaman. Oleh karena itu diperlukan persembahan-persembahan apabila akan mulai bercocok tanam.
2.      Poang Enggai Rante, pergi ke lembah dunia luas dan kawin dengan Tallo Mangkakalena (telur yang terjadi dengan sendirinya). Dari perkawinan ini melahirkan Putera-putera Tuhan.
3.      Gaun Tikembang, ia kembali ke tempat ayahnya di Langit, ia bersemayam seorang diri. Ia berusaha mencari jodoh sesama Tuhan kesana kemari, tetapi juga tidak bertemu. Didalam kekesalan dan kesepiannya, dicabutlah salah satu tulang rusuknya untuk dijadikan sesamanya. Tuhan yang terbuat dari tulang rusuk Gaun Tikembon ini dinamai Puang Usuk Sangbamban, dengan gelar raja laki-laki.[9]
3.      Upacara Keagamaan Aluk To Dolo
Sesuai dengan sistem kepercayaan dan konsep ketuhanan yang dianut oleh para penganut Alukta, maka praktek penyembahan kepada para dewa disesuaikan dengan tindakan dan permohonan penyembahannya. Penyembahan itu dilakukan untuk memohon ampun dan tanda syukur terhadap nikmat yang diterimanaya, misalnya karena turunyya hujan, menguningnya padi dan berkembangnya ternak pemeliharaan. Penyembahan kepada para dewa dilakukan pula karena menerima musibah, seperti sakit dan rusaknya tanam-tanaman atau karena memulai sesuatu pekerjaan, seperti mulai bertanam padi, menebang pohon, mulai mendirikan rumah dan sebagainya.
Ritual Upacara Adat Rambu Solo dan Rambu Tuka
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar.
Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga dari almarhum membuat sebuah upacara sebagai tandapenghormatan terakhir pada mendiang yang telah meninggal dunia.
Catatan: Tempat peristirahatan terakhir suku Toraja, mayat akan diletakkan di Goa Batu.
Catatan: kegiatan awal Upacara Rambu Solo.
Rambu Tuka
Rambu Tuka Upacara Adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhubungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat atau tongkonan baru, atau selesai direnovasi. Rambu Tuka menghadirkan semua rumpun keluarga.[10]
Catatan: Tarian untuk penyambutan pengantin dalam Upacara Rambu Tuka.
Catatan: sebelum diasapi/dibakar, babi terlebih dahulu didekap guna kegiatan Rambu Tuka.
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Penyembahan pun ada tingkatan-tingkatannya:
·         Ma’Babo bo’bo yaitu upacara penyembahan yang dilakukan seseorang yang dianggap tidak mampu. Dengan menyajikan sedikit nasi yang diambil dari tempat nasi dan ditempatkan didaun pisang kemudian diletakkan di sudut rumah.
·         Ma’Piong sanglampa yaitu setingkat dibawah ma’babo bo’bo. Satu Piong Lembang ditambah anak ayam yang paling kecil.
·         Ma’Likarang biag yaitu tiga piong lemang dan seekor ayam jantan kecil.
·         Ma’tadoran yaitu selamatan yang dilengkapi dengan memotong babi dan ayam.
·         Ma’tete’auo yaitu pada tingkat ini upacara dilakukan dengan memotong babi lebih dari satu.
·         Ma’palang yaitu sajian dan cara upacara lebih meningkat lagi.
·         Manganta’ yaitu upacara dilakukan jika suatu kampong terkena penyakit menular, seperti penyakit cacar.
·         Merek yaitu pemotongan babi dilakukan tanpa terbatas.
·         Ma’bua yaitu suasana upacara lebih meriah lagi karena dilaksanakan oleh orang yang paling kaya dan dihadiri oleh orang sekampung.
·         La’pa Kassalle yaitu sama nilainya dengan Ma’bua.[11]

Tak ada aturan tertulis mengenai Aluk Todolo, kepercayaan kepada leluhur warga Dusun Kanan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Kepercayaan mereka diturunkan secara lisan, turun-temurun, dan mengikat kehidupan sehari-hari. Namun, warga mematuhi aturan itu dan rela menjalani hukuman jika ketahuan melanggar Penganut Aluk Todolo wajib menyembah dan memuliakan leluhurnya yang diwujudkan dalam berbagai bentuk dan sikap hidup serta ungkapan ritual.[12]
Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal. Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari jumlah babi dan kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan. Belum lagi biaya (lainnya) yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat telah berubah menjadi masalah martabat. Dalam struktur keagamaan nenek moyang dalam ajaran Aluk To Dolo di Tana Toraja mempunyai cirri dan penerapannya berbeda-beda sesuai dengan adat daerah masing-masing. Walaupun maksud dan tujuannya sama. Struktur keagamaan di Talolembang, Tana Toraja, adalah:
1.      Puang (Raja).
2.      Toparenge’ adalah penanggung jawab adat dan agama.
3.      Tobara’ adalah pembantu Toparenge’ dalam membina adat. Dalam tiap desa biasanya ada atau empat tobara’.
4.      Tomenani dan Tominna (Rohaniawan/pendeta/ustad), mereka ini mempunyai tugas memberikan petunjuk kepada pengikutnya. Tomina ini mengetahui ajaran Aluk To Dolo dan mereka kuat ingatnnya karena peraturan agama tidak ada yang ditulis. Tomina mempunyai bahasa yang sulit dipahami oleh orang biasa. Penghidupan Tomina sangat sederhana.
5.      Toburake merupakan banci yang mendapatkan ilham, yang dapat menyembuhkan penyakit dan bertindak sbagai dukun serta memelihara gadis-gadis yang dipingit dalam ma’bua’ka sale (upacara tertinggi dalam rumpun tertinggi).
6.      Pe toeatu’: yaitu orang yang berhak melaksanakan ritual keagamaan Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Petugasnya Rambu Solo’ disebut toma’ kayo atau toma’ balun, orang ini yang bertugas membungkus dan memandikan mayat. Namun pada saat ini mayat dimandikan oleh keluarganya. Sedangkan petugas Rambu Tuka’ disebut Tominna/Tominani atau Toburake.[13]
Catatan: Proses pemotongan Kerbau untuk perbekalan selama upacara Rambu Solo berlangsung.
Catatan: selain kerbau, babi juga digunakan untuk proses kelangsungan upacara Rambu Solo.
Upacara kematian (Rambu Solo’) merupakan salah satu bentuk ritual yang digelar keluarga Aluk To Dolo untuk menghormati arwah orang sudah meninggal. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupu biaya pemakaman.[14] Ritual Rambu Solo’ digelar semeriah mungkin agar arwah orang meninggal tersebut ke Puya (dunia arwah/akhirat) tidak terhambat.Mereka mempercayai bahwa jiwa orang yang meninggal bisa mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan.Makanya hewan yang terbaik sebagai kendaraan menuju ke Puya adalah Kerbau Tedong Bonga yang dianggap kuat untuk melintasi gunung dan lembah Puya. Ada beberapa tingkatan dalam upacara Rambu Solo’, yaitu:
·         Disisli adalah upacara kematian/pemakaman paling sederhana. Orang miskin dari tingkatan budak sering dikuburkan dengan hanya membekali mayat dengan telur ayam tanpa upacara keagamaan.
·         Dipasang Bongi adalah upacara kematian yang dilakukan hanya satu malam di rumah dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.
·         Dipatallung Bongi adalah upacara penguburan yang berlangsung selama tiga malam di rumah. Empat ekor kerbau dan babi sepuluh ekor.
·         Dipalimang Bongi, upacara pemakaman selama lima hari lima malam.
·         Dipapitung Bongi, upacara tujuh hari tujuh malam. Setiap hari dan setiap malam ada acara pemotongan kerbau dan babi, keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Banyak babi dipotong, kerbau sebanyak 9 sampai 20 ekor.
·         Dirapai, upacara pemakaman orang meninggal yang paling mahal karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah Tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun kemudian upacara ke dua diadakan. Upacara ke dua, orang meninggal dipikul ratusan orang dari tongkonan atau rante tempat upacara ke dua. Upacara ini disebut ma’palo/ ma’pasonglo’. Orang meninggal dibungkus kain merah dilapis emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasi emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang siap diadu satu lawan satu. Dirapai terbagi tiga (3) rapasan dilayu-layu, dengan target terendah dua belas ekor kerbau. Kemudian rapasan sundun, dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong, rapasan sapurandanan dengan jumlah terendah 30 ekor kerbau yang dipotong.[15]
Catatan: Prosesi upacara Rambu Solo yang mengadakan tarian.
       Rambu Solo’ pun merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya.Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.[16]
     Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing  di ketinggian bukit batu. Menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana. Kepercayaan pada Aluk To Dolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu pandangan terhadap kosmos dan kesetian pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat.Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti hal “mengurus dan merawat” arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.[17]
     Seni Bangunan, ukir, dan Ornamen/hiasan suku Toraja Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
Catatan: Rumah adat yang penghuninya sering mengadakan upacara, terdapat banyak tanduk kerbau digantungkan.
Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung. Perkembangan ke~5 masih berupa rumah panggung sederhana tetapi dengan tiang yang lain untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu.tiang-tiang dibuat sedemikian rupa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal. Lama sesudah itu terjadi perubahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi, Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon. Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perubahan sesuai fungsinya Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai. Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyakkarena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya.[18]
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.
a. Seni Bangunan Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[19]
b. Seni Ukir suku Toraja
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar. Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[20] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih diipertahankan. Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya: Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-tiap sudut rumah adat. Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam ornamen, masing-masing ialah:
a. Ornamen binatang Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk ornamen. Misalnya tanduk, kepala (tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau (tiruan dari kayu) biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere). Tanduk kerbau disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlahgenerasi yang pernah tinggal di rumah adat itu. Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga dipintu-pintu.Babi, sebagai lambang binatang sajian.
b. Ornamen Senjata.Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana Bulaan (kasatria). Ornamen Tumbuh-tumbuhan. Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu, juga di pintu-pintu.
c. Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU. Ornamen lukisan diukir dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian Lukiran biasanya dengan zat pewarna yang dibikin dari tanah + tuak atau arang + cuka + air.[21]

Seni Tari
Kesenian Tari di Tana Toraja, senantiasa diapresiasikan berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu Solo’, yang antara lain:
    Tarian Ma’gellu : dipentaskan pada upacara kegembiraan
    Tarian Boneballa’ / Ondo Samalele’: digelar dalam upacara syukuran
    Tarian Pa’gellu: dipentaskan pada acara pesta Rabu Tuka
    Tarian Burake: pemujaan kepada Puang Marua dan Deata
    Tarian Dau Bulan: Sama dengan Tarian Burake
   Tarian Madandan: pemujaan dan doa-doa kepada Puang Ma’tua dan Deata (Aluk Todolo)
    Tarian Manimbong: Tarian pemujaan dan doa pada upacara syukuran
    Tarian Pa’randing: untuk menghormati para pahlawan perang
    Tarian Pa’pangngan: tarian selamat datang.[22]
Ritual Rambu Solo memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru. Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian keluarga besar. Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek melanjutkan perburuannya. Semenjak kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu, ia selalu memperoleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi disawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya. Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang ditemukannya saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’. Dalam ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat warga. Misalnya, jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’ Nene’ untuknya. Ketika Ma’ Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke seantero negeri akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya.Warga Baruppu percaya, jika Ma’ Nene’ tidak digelar maka leluhur juga akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman yang subur.
Alat Upacara Keagamaan
Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita.
Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala.
Pokti – tempat sesajen.
Sepui – tempat sirih.[23]
4.      Interaksi Sosial Orang Tanah Toraja Terhadap Agama Lain dan Dalam Lingkungan Masyarakat Lokal
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Aluk Todolo merupakan agama leluhur orang Toraja yang kemudian banyak berasimilasi dengan ajaran Kristen yang dianut sebagian besar orang Toraja. Aluk Todolo tidak mengenal sistem keagamaan seperti dalam Hindu, Aluk Todolo tidak mengenal candi atau pura dan dewa-dewa seperti dalam mitologi Hindu. Ajaran ini tetap lestari dari lisan dan diwariskan secara turun temurun. Saya belum menemukan informasi kalau Aluk Todolo memiliki sebuah kitab suci seperti layaknya agama besar di dunia. Ada yang berpendapat jika ajaran ini banyak mengadopsi ajaran Hinduisme dan Konghucu. Untuk Hinduisme sudah terjawab bahwa ajaran ini tidak mengadopsi ajaran para resi dari Jawa. Belum ada informasi yang menyebutkan Agama Hindu pernah masuk ke tanah Sulawesi.[24]
Lalu dari mana unsur Konghucu masuk kedalam tradisi Aluk Todolo ?? agak susah menjawabnya, mungkin ada kaitan dengan asal muasal orang Toraja yang dalam sejarah migrasi Asia Tenggara dikelompokkan kedalam kelompok Melayu Tua, ada yang menyebut leluhur orang Toraja berasal dari Tiongkok negerinya Konghucu. Namun saya tidak mau berspekulasi dengan menyebut Aluk Todolo tidak dipengaruhi ajaran Konghucu, karena pertama masih belum jelas mana duluan antara migrasi atau ajaran Konghucu ??? kedua saya bukan ahli sejarah atau antropologi. Jadi hubungan Aluk Todolo dengan Konghucu masih kabur, namun yang pasti Aluk Todolo merupakan satu dari puluhan aliran kepercayaan yang tetap eksis di bumi nusantara.[25]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[26]
























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Orang Toraja, ialah penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga mendiami Provinsi Sulawesi Selatan, Kepercayaan Aluk To Dolo adalah kepercaayaan asli orang Tana Toraja yang terletak kurang lebih 300 km, disebelah Utara Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Secara harfiah, Aluk artinya kepercayaan, To artinya orang, Dolo artinya dulu, jadi Aluk To Dolo artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan nenek moyang.
Aluk To Dolo mempercayai adanya kekuatan gaib pada alam, ia berada dimana-mana, seperti dipinggir langit, ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan batu, didalam matahari, di hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang sudah meninggal.
Dengan demikian dapat dikatakan masyarakat Toraja tetap berpegang teguh terhadap pengaruh keyakinan terdahulunya, adanya agama lain hanyalah sebagai formalitas agar masyarakat Tana Toraja dapat diakui keadaannya oleh Neagara, karena menurut ketentuan dekret Presiden hanyalah agama-agama besar yang sah secara hukum.













Daftar Pustaka
Koenjtaraningrat. Dr, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jambatan, cet. 4 1979)
Darol Afia. Neng Dra. (ED), Tradisi dan kepercayaan lokal pada beberapa suku di Indonesia  (Jakarat: badan litbang agama DEPAG RI, 1999)
Dinas Kebudayaan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Makassar : 14 Juli 2006)
Hidayah. Zulyani Dr. Ensiklopedi Suku Bangsa  Di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015)
Rosadi. Achmad, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia (Jakarta: Puslitbang  Kehidupan Keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011)
Tresna Nurhayati Manurung. Rotua, Upacara Kematian di Tana Toraja. (Medan: Dalam Kertas Karya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2009)
http://blaketupruk.blogspot.com/2010/01/makalah-tentang-toraja.html  diakses pada tanggal 15 Maret 2016
http://www.torajaparadise.com/2015/02/kajian-antropologis-suku-toraja-sebuah.html, diakses diakses pada tanggal 15 Maret 2016
http:/"Tana Toraja official website" (dalam Indonesia). Diakses tanggal. 15 Maret 2016.
                    
http://aluktodolo.blogspot.co.id/. Diakses pada 15 maret 2016.



[6] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta: Puslitbang  Kehidupan Keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.186-187.
[7]  Dr. Koenjtaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jambatan: cet. 4. 1979),  h. 259.
[8]  Dra. Neng Darol Afia (ED), Tradisi dan kepercayaan lokal pada beberapa suku di Indonesia  (badan litbang agama DEPAG RI, 1999),  h.117-118.
[9]  Dra. Neng Darol Afia (ED), h. 118-119.
[11]  Dra. Neng Darol Afia (ED), h.121-122.
[12]  http://aluktodolo.blogspot.co.id/. Diakses pada 15 maret 2016.

[13] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) h.198-199.
[14] Dr. Zulyani Hidayah. Ensiklopedi Suku Bangsa  Di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015) h.406.
[15] Achmad Rosadi.  h. 200-201.
[17]  Rotua Tresna Nurhayati Manurung. Upacara Kematian di Tana Toraja. (Medan: Dalam Kertas Karya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2009).  h.48.
 [20] http://"Tana Toraja official website" (dalam Indonesia). Diakses tanggal. 15 maret 2016.
[25] http://aluktodolo.blogspot.co.id/. Diakses pada 15 maret 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar